Jumat, 10 Agustus 2012

Menyingkap Tabir Sejarah Pertambangan di Indonesia


Pertambangan minyak bumi yang pertama kali didirikan secara komersial adalah saat pra kemerdekaan  pada tahun 1871 oleh pengusaha Belanda Jaan Reerink, yang kemudian pada tahun 1883 Aeilko Jans Zijlker melakukan eksploitasi minyak dengan membentuk badan usaha komersial, dengan Konsesi Telaga Said dari Sultan Langkat..
Perusahaan minyak yang pertama kali di Hindia Belanda adalah Royal Dutch Petroleum Company pada tanggal 16 Juni 1890 yang memproduksi, mengolah dan memasarkan minyak bumi dengan mengambil alih Konsesi Telaga Said. Perusahaan lain yang bergerak di industri minyak adalah shell Transport and Trading yang membangun kilangnya di wilayah Balikpapan, Kalimantan Timur pada 1894.
  • Titik Awal Pengaturan Pengusahaan Pertambangan Migas oleh Pemerintah Hindia Belanda

Melihat betapa besarnya potensi sumber daya migas Indonesia dan besarnya revenue yang mungkin dihasilkan, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1899 mengeluarkan ”Indische Mijn Wet (IMW)yang mana menurut ketentuan Pasal 5a, Pemerintah Hindia Belanda berwenang untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi serta mengadakan kerjasama dengan perusahaan minyak dalam bentuk kontrak 5A atau Sistem Konsesi. Sistem ini tidak hanya memberikan kuasa pertambangan, tetapi juga hak menguasai atas tanah. Beberapa perubahan dilakukan atas IMW yaitu pada tahun 1900 dan tahun 1904 untuk memperkuat kedudukan Shell. Pada tahun 1918, IMW dirubah kembali dengan ketentuan yang memberikan kelonggaran untuk mendapatkan konsesi baru.     
Walaupun IMW telah dirubah dengan memberikan kelonggaran pemberian konsesi baru, namun diskriminasi yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap perusahaan minyak baru tetap terjadi. Hal tersebut menimbulkan protes dari Pemerintah Amerika yang diwujudkan dengan mengeluarkan ”General Leasing Actpada tahun 1920.
Berdasarkan Undang-Undang dan Asas Non Diskriminasi, Pemerintah Amerika dapat menolak permohonan konsesi perusahaan Belanda di Amerika jika permohonan konsesi perusahaan Amerika di daerah kekuasaan Belanda termasuk Hindia Belanda ditolak tanpa alasan yang benar dan jelas.
Pendudukan Jepang dan Masa-Masa Kemerdekaan
Penyerbuan Jepang di Hindia Belanda telah mengakibatkan adanya taktik bumi hangus beberapa instalasi migas. Kepergian Belanda telah membawa serta teknologi, pengetahuan dan skill yang tidak dapat digantikan oleh Jepang.
Pada masa kemerdekaan, kemerdekaan pengelolaan sumber daya alam migas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat telah dituangkan secara yuridis dalam Pasal 33 UUD 1945.
Pada September 1945 Jepang menyerahkan tambang Pangkalan Brandan, disusul pembentukan Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia (PT.MNRI) yang di tahun 1954 berubah nama menjadi PT. Tambang Minyak Sumatera Utara (PT.TMSU).
Sementara di Sumatera Selatan dibentuk Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI), dan Perusahaan Tambang Minyak Nasional (PTMN) di Jawa Tengah.
  • Awal Mula Kebijakan pada sektor Pengusahaan Pertambangan Migas

Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perdagangan dan Industri yang membawahi sektor migas mengarahkan kebijaksanaannya untuk menarik sebanyak-banyaknya investor agar tercipta pertumbuhan ekonomi.
Salah satu cara yang ditempuh adalah meningkatkan kepercayaan masyarakat Internasional dengan mematuhi hasil Konperensi Meja Bundar, yang salah satu keputusannya adalah Indonesia diwajibkan mengembalikan NIAM dan Shell untuk menjalankan pengusahaan pertambangan berdasarkan konsesi yang dimilikinya.

  • Konsesi Pengusahaan Migas Tidak Menguntungkan Indonesia

Pada Agustus 1951, Mr. Mohammad Hasan selaku Ketua Komisi Perdagangan dan Industri DPR telah melakukan penelitian yang menghasilkan 2 (dua) kesimpulan yaitu:
  1. diyakini penuh, dengan berbagai alasan yang kuat, bahwa ladang-ladang minyak di Sumatera Utara dapat dinasionalisasi dengan pembayaran ganti rugi sedemikian rupa
  2. Indonesia tidak mendapatkan pembagian setimpal atas operasi minyak asing menurut perjanjian Konsesi dan peraturan perpajakan yang berlaku.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diajukan mosi kepada Pemerintah untuk membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan dengan tugas diantaranya adalah mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan dan mengajukan usul mengenai pertambangan yang menguntungkan Pemerintah.
Atas desakan DPR, Pemerintah kemudian menunda pemberian konsesi eksploitasi maupun perpanjangannya sampai Panitia Negara Urusan Pertambangan memberikan rekomendasi.
Sementara itu, dalam perundingan antara Mr.Mohammad Hasan dan manajeman perusahaan minyak asing di Indonesia, muncul usulan dari Mr.Mohammad Hasan agar pembagian hasil (50%-50%) diambil dari hasil produksi, tanpa ikut serta dalam pembiayaan operasi.
Akhirnya berdasarkan perundingan tersebut, pada Maret 1954 dihasilkan kesepakatan antara Pemerintah dan Stanvac yang diantaranya:
  1. Untuk menfasilitasi penanaman modal kepada Stanvac diberikan pembebasan bea masuk untuk semua impor barang modal;
  2. Penerapan perpajakan yang akhirnya menghasilkan pembagian 50%-50%;
  3. Upaya Indonesianisasi karyawan akan dilakukan sebesar mungkin;
  4. Jangka waktu Konsesi untuk empat tahun.
Kesepakatan tersebut juga menjadi dasar perpanjangan konsesi Shell dan Caltex, dimana pada perpanjangan berikutnya yaitu pada tahun 1960 diharapkan dapat diatur sesuai Undang-Undang Perminyakan yang baru.
  • UU No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan Lex Specialist dari UU No. 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan

Sebagai hasil kerja Panitia Negara Urusan Pertambangan, telah disampaikan kepada Pemerintah:
  1. Rancangan Undang-Undang Pertambangan sebagai Undang-Undang Pokok; dan
  2. Rancangan Undang-Undang Minyak,
Yang kemudian oleh Pemerintah Rancangan Undang-Undang tersebut disusun menjadi:
  1. Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pertambangan sebagai Undang-undang Pokok;
  2. Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pertambangan dan Minyak dan Gas Bumi.1
Pada tahun 1960, kedua RUU ditetapkan menjadi UU No. 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan sebagai pengganti “Indische Mijn Wet” dan UU No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
Dengan diatur tersendiri maka terlihat adanya pengkhususan mengenai pengaturan Pertambangan Migas, sebagai berikut:
  1. Dalam Pasal 9 UU No. 37 Prp Tahun 1960, memperbolehkan pengaturan tersendiri yang sifatnya lex specialis untuk bahan galian yang diusahakan semata-mata oleh negara, termasuk migas;
  2. Dasar Pertimbangan diundangkannya UU No. 44 Prp Tahun 1960 sebagai peraturan tersendiri mengenai migas adalah terkait dengan sifat penting migas bagi negara dan adanya aspek Internasional yang akan terkait dengan pengusahaan pertambangan migas.
  • Sejarah UU pertambangan di Indonesia, yaitu :

  1. Zaman penjajahan Belanda
Ø  Indonesia Mijn Wet Stbl. 1899, berlaku 1907,
Ø  Tahun 1910, dirubah dengan menambah pasal 5a, dekenal 5a contract,
Ø  Mijn Politie Regelement (MPR) No.341, 1930 berlaku sampai sekarang, penggantinya masi dlam proses.

  1. Zaman Indonesia Merdeka
Ø  Kekayaan alam Indonesia, diharapkan menjadi sumber pembiayaan tapi masih dikuasai oleh perusahaan Belanda,
Ø  1950 Mosi Mr. Teuku Mohammad Hassan dkk. Di DPR, untuk menggati UU Pertambangan produk Belanda,
Ø  Dibentuk panitia, ketua Mr. Muh.Rum, cabinet Parlementer, kerja panitia tersendat,
Ø  Tahun 1959, telah tersusun draft,
Ø  Belum diundangkan, sebab hapir selutuh usaha pertambangan milik Belanda,
Ø  1959, sekeluarkan UU No.10, tentang pembatalan hak-hak pertambangan yang ada di Indonesia; sebanyak 2871 buah,
Ø  1961, dibatalkan lagi 4 buah,
Ø  Tahun 1960, keluar UU No.37 Prp, tentang Pertambangan,
Ø  Tahun 1960, keluar UU No.44, tentang Minyak & gas bumi,
Ø  PP No. 39-1960, tentang Penggolongan Bahan Galian,
Ø  PP No. 25-1964, tentang Penggolongan Bahan Galian,
Ø  PP No. 11-1980, tentang Penggolongan Bahan Galian,
Ø  UU No. 11-1967, tentang Ketetntuan Pokok Pertambangan,
(sumber : T. Fricylia Ananda-Ahli Hukum)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar