Pertambangan minyak bumi yang pertama kali didirikan
secara komersial adalah saat pra kemerdekaan pada tahun 1871 oleh pengusaha Belanda Jaan Reerink, yang kemudian pada tahun
1883 Aeilko Jans Zijlker melakukan eksploitasi minyak dengan membentuk
badan usaha komersial, dengan Konsesi Telaga Said dari Sultan Langkat..
Perusahaan minyak yang pertama kali di Hindia Belanda adalah
Royal Dutch Petroleum Company pada
tanggal 16 Juni 1890 yang memproduksi, mengolah dan memasarkan minyak bumi
dengan mengambil alih Konsesi Telaga Said. Perusahaan lain yang bergerak di industri
minyak adalah shell Transport and Trading
yang membangun kilangnya di wilayah Balikpapan, Kalimantan Timur pada 1894.
- Titik Awal
Pengaturan Pengusahaan Pertambangan Migas oleh Pemerintah Hindia Belanda
Melihat betapa besarnya potensi sumber daya migas
Indonesia dan besarnya revenue yang mungkin dihasilkan, Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1899 mengeluarkan
”Indische Mijn Wet (IMW)” yang mana menurut ketentuan Pasal 5a,
Pemerintah Hindia Belanda berwenang untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
serta mengadakan kerjasama dengan perusahaan minyak dalam bentuk kontrak 5A
atau Sistem Konsesi. Sistem ini tidak hanya memberikan kuasa
pertambangan, tetapi juga hak menguasai atas tanah. Beberapa perubahan
dilakukan atas IMW yaitu pada tahun 1900 dan tahun 1904 untuk memperkuat
kedudukan Shell. Pada tahun 1918, IMW dirubah kembali dengan ketentuan
yang memberikan kelonggaran untuk mendapatkan konsesi baru.
Walaupun IMW telah dirubah dengan memberikan
kelonggaran pemberian konsesi baru, namun diskriminasi yang dilakukan oleh
Pemerintah Hindia Belanda terhadap perusahaan minyak baru tetap terjadi. Hal
tersebut menimbulkan protes dari Pemerintah Amerika yang diwujudkan dengan
mengeluarkan ”General Leasing Act” pada tahun 1920.
Berdasarkan Undang-Undang dan Asas Non Diskriminasi,
Pemerintah Amerika dapat menolak permohonan konsesi perusahaan Belanda di
Amerika jika permohonan konsesi perusahaan Amerika di daerah kekuasaan Belanda
termasuk Hindia Belanda ditolak tanpa alasan yang benar dan jelas.
Pendudukan Jepang dan Masa-Masa Kemerdekaan
Penyerbuan Jepang di Hindia Belanda telah
mengakibatkan adanya taktik bumi hangus beberapa instalasi migas. Kepergian
Belanda telah membawa serta teknologi, pengetahuan dan skill yang tidak
dapat digantikan oleh Jepang.
Pada masa kemerdekaan, kemerdekaan pengelolaan sumber
daya alam migas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat telah dituangkan
secara yuridis dalam Pasal 33 UUD 1945.
Pada September 1945 Jepang menyerahkan tambang
Pangkalan Brandan, disusul pembentukan Perusahaan Tambang Minyak Negara
Republik Indonesia (PT.MNRI) yang di tahun 1954 berubah nama menjadi PT. Tambang
Minyak Sumatera Utara (PT.TMSU).
Sementara di Sumatera Selatan dibentuk Perusahaan
Minyak Republik Indonesia (PERMIRI), dan Perusahaan Tambang Minyak Nasional
(PTMN) di Jawa Tengah.
- Awal Mula Kebijakan pada sektor Pengusahaan Pertambangan Migas
Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri
Perdagangan dan Industri yang membawahi sektor migas mengarahkan
kebijaksanaannya untuk menarik
sebanyak-banyaknya investor agar tercipta pertumbuhan ekonomi.
Salah satu cara yang ditempuh adalah meningkatkan
kepercayaan masyarakat Internasional dengan mematuhi hasil Konperensi Meja
Bundar, yang salah satu keputusannya adalah Indonesia diwajibkan mengembalikan NIAM
dan Shell untuk menjalankan pengusahaan pertambangan berdasarkan
konsesi yang dimilikinya.
- Konsesi Pengusahaan Migas Tidak Menguntungkan Indonesia
Pada Agustus 1951, Mr. Mohammad Hasan selaku Ketua
Komisi Perdagangan dan Industri DPR telah melakukan penelitian yang
menghasilkan 2 (dua) kesimpulan yaitu:
- diyakini
penuh, dengan berbagai alasan yang kuat, bahwa ladang-ladang minyak di
Sumatera Utara dapat dinasionalisasi dengan pembayaran ganti rugi
sedemikian rupa
- Indonesia tidak mendapatkan
pembagian setimpal atas operasi minyak asing menurut perjanjian Konsesi
dan peraturan perpajakan yang berlaku.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diajukan mosi
kepada Pemerintah untuk membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan dengan
tugas diantaranya adalah mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan dan
mengajukan usul mengenai pertambangan yang menguntungkan Pemerintah.
Atas desakan DPR, Pemerintah kemudian menunda
pemberian konsesi eksploitasi maupun perpanjangannya sampai Panitia Negara
Urusan Pertambangan memberikan rekomendasi.
Sementara itu, dalam perundingan antara Mr.Mohammad
Hasan dan manajeman perusahaan minyak asing di Indonesia, muncul usulan dari
Mr.Mohammad Hasan agar pembagian hasil (50%-50%) diambil dari hasil produksi,
tanpa ikut serta dalam pembiayaan operasi.
Akhirnya berdasarkan perundingan tersebut, pada Maret
1954 dihasilkan kesepakatan antara Pemerintah dan Stanvac yang
diantaranya:
- Untuk menfasilitasi
penanaman modal kepada Stanvac diberikan pembebasan bea masuk untuk semua
impor barang modal;
- Penerapan perpajakan yang
akhirnya menghasilkan pembagian 50%-50%;
- Upaya Indonesianisasi
karyawan akan dilakukan sebesar mungkin;
- Jangka waktu Konsesi untuk
empat tahun.
Kesepakatan tersebut juga menjadi dasar perpanjangan
konsesi Shell dan Caltex, dimana pada perpanjangan berikutnya
yaitu pada tahun 1960 diharapkan dapat diatur sesuai Undang-Undang Perminyakan
yang baru.
- UU No. 44
Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan Lex Specialist dari UU No. 37 Prp. Tahun 1960 tentang
Pertambangan
Sebagai hasil kerja Panitia Negara Urusan
Pertambangan, telah disampaikan kepada Pemerintah:
- Rancangan Undang-Undang
Pertambangan sebagai Undang-Undang Pokok; dan
- Rancangan Undang-Undang
Minyak,
Yang kemudian oleh Pemerintah Rancangan Undang-Undang
tersebut disusun menjadi:
- Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pertambangan sebagai
Undang-undang Pokok;
- Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pertambangan dan Minyak dan Gas
Bumi.1
Pada tahun 1960, kedua RUU ditetapkan menjadi UU No.
37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan sebagai pengganti “Indische Mijn Wet”
dan UU No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
Dengan diatur tersendiri maka terlihat adanya
pengkhususan mengenai pengaturan Pertambangan Migas, sebagai berikut:
- Dalam Pasal 9 UU No. 37
Prp Tahun 1960, memperbolehkan pengaturan tersendiri yang sifatnya lex
specialis untuk bahan galian yang diusahakan semata-mata oleh negara,
termasuk migas;
- Dasar Pertimbangan
diundangkannya UU No. 44 Prp Tahun 1960 sebagai peraturan tersendiri
mengenai migas adalah terkait dengan sifat penting migas bagi negara dan
adanya aspek Internasional yang akan terkait dengan pengusahaan
pertambangan migas.
- Sejarah UU pertambangan di
Indonesia, yaitu :
- Zaman penjajahan Belanda
Ø
Indonesia Mijn Wet Stbl. 1899, berlaku 1907,
Ø
Tahun 1910, dirubah dengan menambah pasal 5a,
dekenal 5a contract,
Ø
Mijn Politie Regelement (MPR) No.341, 1930
berlaku sampai sekarang, penggantinya masi dlam proses.
- Zaman Indonesia Merdeka
Ø
Kekayaan alam Indonesia, diharapkan menjadi
sumber pembiayaan tapi masih dikuasai oleh perusahaan Belanda,
Ø
1950 Mosi Mr. Teuku Mohammad Hassan dkk. Di DPR,
untuk menggati UU Pertambangan produk Belanda,
Ø
Dibentuk panitia, ketua Mr. Muh.Rum, cabinet
Parlementer, kerja panitia tersendat,
Ø
Tahun 1959, telah tersusun draft,
Ø
Belum diundangkan, sebab hapir selutuh usaha
pertambangan milik Belanda,
Ø
1959, sekeluarkan UU No.10, tentang pembatalan
hak-hak pertambangan yang ada di Indonesia; sebanyak 2871 buah,
Ø
1961, dibatalkan lagi 4 buah,
Ø
Tahun 1960, keluar UU No.37 Prp, tentang
Pertambangan,
Ø
Tahun 1960, keluar UU No.44, tentang Minyak
& gas bumi,
Ø
PP No. 39-1960, tentang Penggolongan Bahan
Galian,
Ø
PP No. 25-1964, tentang Penggolongan Bahan
Galian,
Ø
PP No. 11-1980, tentang Penggolongan Bahan
Galian,
Ø
UU No. 11-1967, tentang Ketetntuan Pokok
Pertambangan,
(sumber : T.
Fricylia Ananda-Ahli Hukum)